Sabtu, 20 November 2010

KULIAH PTI 2

PENGANTAR TEKNOLOGI INFORMASI*

Prolog
Pada awalnya pengarsipan non digital dilakukan secara manual. Pemanfaatan mesin tik dianggap teknologi yang paling maju. Ketika teknologi sudah mulai berkembang, semua menjadi mudah. Istilah googling menjadi hal yang sangat familiar. Dengan metode ini informasi apa saja bisa diperoleh dengan waktu yang ekstra cepat. Lebih dari 9 miliar informasi dapat kita peroleh dari google. Perkembangan dunia maya memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan umat manusia. Berbagai dampak baik langsung ataupun tidak langsung, positif maupun negatif dari perkembangan teknologi ini berkembang bersamaan dengan perkembangan dunia.
Pertanyaan besarnya adalah persiapan apa yang telah diberikan pada generasi mendatang dalam mengimbangi perkembangan teknologi ini.
Pengertian Teknologi Informasi
Perlu dibedakan antara teknologi informasi dengan produk teknologi informasi (handphone, komputer, laptop, internet dll) . Teknologi adalah ilmu yg berkaitan dengan pengaplikasian, sedangkan informasi adalah data yang terstruktur hasil olahan. Teknologi informasi dapat didefinisikan sebagai teknologi.
Perkembangan Teknologi Informasi :
1. Abad pertanian
2. Abad mekanik
3. Abad Informasi

*Kuliah Pascasarjana Teknologi Pembelajaran ( Dr. Hudiana Hernawan)

Kamis, 18 November 2010

Lembaga Keuangan Mikro Syariah dan Upaya Pengentasan Kemiskinan

Sampai saat ini, salah satu agenda penting penduduk Indonesia adalah masalah kemiskinan. Dengan sumber daya alam yang luar biasa, penduduk Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam bidang ekonomi. Tetapi faktanya kita masih berada di "pinggiran" peta perekonomian dunia?. Bahkan penduduk Indonesia berada dalam himpitan kemiskinan yang memprihatinkan. Di samping itu, sebagian besar penduduk Indonesia, khususnya kelompok masyarakat bawah, masih terjerat sistem ekonomi ribawi. .
Adalah BMT (Baitul Maal wat Tamwil) salah satu lembaga keuangan yang kini mulai popular dan menempatkan diri menjadi salah satu lembaga keuangan publik. Lewat lembaga BMT, masyarakat miskin dan pedagang kecil akan dilepaskan dari jeratan sistem riba (bunga) dan mengalihkannya kepada sistem ekonomi Islam yang disebut dengan bagi hasil (mudharabah, murabahah, dan musyarakah). Dalam konsep Mudharbah, unsur riba dieliminir, dimana hasil yang diperoleh dari dana yang diinvestasikan para deposan akan dibagikan kepada deposan dan pengelola sesuai nisbah yang ditentukan pada awal akad (Ali, 2004).
Akan tetapi pertanyaanya adalah berapa besar peluang kita untuk dapat merealisasikan sistem islami ini sekaligus melepaskan diri dari sistem kapitalis yang sarat dengan praktek ekonomi ribawi. Akan tetapi, sebagai wujud sebuah keoptimisan tentu saja masih sangat terbuka peluang untuk merealisasikan gagasan ini sehingga tidak hanya berhenti pada tataran wacana saja.
Lahirnya Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan telah memberi peluang yang sangat baik bagi tumbuhnya bank-bank syari’ah di Indonesia. Tumbuhnya perbankan yang seirama dengan tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari riba berimbas pada makin maraknya sektor moneter di tingkat bawah. Ini terbukti pada berkembangnya BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sampai di desa-desa. Pesatnya pekembangan lembaga keuangan mikro seperti BMT menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Keistimewaan sistem Islam yang direalisasikan sepenuhnya ditingkat lokal kita dapat melihat banyaknya lembaga keuangan mikro syari’ah (LKMS, seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang perkembangannya dapat dikatakan cukup prospektif.
Perkembangan Lembaga Keuangan Berbasis Syariah
Sebagai umat islam tentu sebuah hal yang wajar dan seharusnya jika dalam diri setiap individu muslim, terdapat keinginan untuk mengamalkan dan menghidupkan kembali ajaran fiqh muamalah tersebut. Fakta menunjukkan bahwa perjuangan beberapa kalangan dalam upaya menghidupkan fiqh muamlah bukanlah sekedar mitos apalagi Utopia, tetapi telah menjadi kenyataan yang mencengangkan dunia (Latifa M. Algaoude, dkk,2005).
Dalam Bukunya, Latifa M. Algaoude, dkk. (2005) menjelaskan bahwa saat ini saja di beberapa negara Eropa, Afrika, Asia bahkan Amerika telah melirik keunggulan sistem ekonomi syariah. Hal ini tentu sangat menggembirakan,berbeda dengan seperempat abad yang lalu ketika sistem syariah belum banyak dilirik. Awal tahun tujuh puluhan merupakan era kebangkitan sistem syariah dimana berbagai transaksi keuangan, sistem asuransi dan perbankan mulai mengadopsi sistem syariah sebagai mindsetnya. Bahkan City Bank telah menerapkan sistem ekonomi syariah pada salah satu bank yang dioperasikannya.
Kegairahan para praktisi keuangan dan perbankan untuk mengetahui sistem muamalah syariah karena prinsipnya yang jauh dari unsur penekanan dan individualitis. Di luar negeri, sistem ekonomi syariah mengalami kemajuan dan dapat bersaing dengan perbankan konvensional, tentu di negara Indonesia yang mayoritas Islam, kemunkinan itu sebenarnya jauh lebih besar.
Namun disisi lain, pandangan skeptis muncul dengan pesimis dari sebagian masyarakat terhadap kemungkinan ekonomi yang berlandaskan syariah. Ada sebagian ahli ekonomi konvensional maupun pelaku perbankan umum, yang mengajukan pertanyaan, “Bagaimana mungkin sebuah lembaga keuangan dapat maju dan berkembang tanpa bunga, dari mana keuntungan diperoleh, bagaimana bisa menggaji pegawai? Dan sederet pertanyaan lainnya.
Ini tentu saja pertanyaan yang tidak mudah dan tidak hanya hanya memerlukan jawaban teoritis melainkan bukti nyata yang terbukti secara empiric.

Prinsip Keuangan Berbasis Syariah
Perbedaan yang penting dari sistem keuangan syariah adalah konsep bunga dalam sistem keuangan konvensional yang dianggap sebagai riba.Ide dasar sistem keuangan syariah dapat dikemukakan secara sederhana sebagai institusi keuangan dengan sistem PLS (Profit and Loss Sharing) (Latifa M. Algaoude, dkk,2005).
Islam tidak membebankan bunga melainkan mengajak partisipasi aktif dalam bidang usaha yang didanai. Para deposan juga sama sama memperoleh keuntungan dengan rasio yang telah ditentukan sebelumnya. Contoh dalam sistem kerjasama Mudharabaah maupun Musyarakah.
Dalam hal ini terdapat kemitraan antara bank islam dengan para deposan di satu pihak dan antara bank dengan para nasabah investasi sebagai pengelola dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain.
Melihat uraian diatas terlihat bahwa sistem keuangan syariah memiliki dasar aturan yang paripurna. Tidak ada pihak yang berada pada posisi dirugikan, melainkan konsep win win solution. Karena dalam perspektif Islam menurut Latifa M. Algaoude, dkk,(2005). tujuan utama perbankkan dan keuangan syari’ah adalah; pertama penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan semua aktifitas keuangan agar sesuai dengan prinsip Islam. Kedua pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang proporsional pada semua kalangan masyarakat. Ketiga promosi pembangunan ekonomi yang distimulir oleh aktivitas ekonomi produktif dari para praktisi ekonomi.
Selain itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya BMT sebagai salah satu bentuk LKM, Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) memiliki dua kelebihan. Pertama, BMT merupakan baitul maal dimana salah satu kegiatannya berupa penggalangan dan pendayagunaan dana Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS). Penggalangan dana ZIS akan semakin besar, ketika baitul maal tersebut mampu mengelolanya secara amanah dan profesional. Dengan kepercayaan yang semakin tinggi, diharapkan akan semakin banyak donatur dan masyarakat yang memanfaatkan jasa BMT tersebut.
Dari sisi pendayagunaan, berbagai program kreatif sangat dimungkinkan untuk dibiayai dari sumber dana ZIS ini, antara lain: pengembangan sumberdaya manusia (SDM), pengembangan ekonomi, perbaikan mutu kesehatan, serta santunan guna memenuhi kebutuhan pokok. Makin besar dana ZIS yang dikelola BMT, maka makin besar pula kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan. Dalam kondisi seperti ini, BMT dapat mendirikan Lemabag Amil Zakat (LAZ) guna mengelola dana ZIS secara lebih profesional. Peningkatan peran ini bukan berarti menghilangkan fungsi baitul maal pada BMT karena ini bisa dijembatani dengan mendesain sistem sinergi antara LAZ dan BMT.
Kedua, BMT merupakan baitut tamwil. Dalam hal ini fungsi BMT persis sama dengan perbankan dengan orientasi meraih profit yang optimal. Konsekuensinya, sistem operasional BMT mesti profesional. Sedangkan karyawan dituntut kemampuan entrepeneurship yang tinggi. Dalam melakukan pembiayaan juga harus memperhatikan faktor-faktor peluang dan resiko bisnis, sehingga peningkatan pendapatan dapat dirasakan kedua belah pihak.
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)
Krisis moneter yang dialami Indonesia pada akhir dasawarsa 1990 diyakini banyak pihak merupakan konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor moneter dengan sektor riil. Perbankan (konvensional) sebagai pelaku ekonomi sektor moneter yang menjadikan uang sebagai komoditas telah berkembang sedemikian cepat sementara sektor riil selalu tertinggal di belakang karena banyak factor. Sementara di sisi lain, ketangguhan Bank syari’ah yang tidak berbasis pada riba teruji saat itu.
Lahirnya Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang perbankan telah memberi peluang yang sangat baik bagi tumbuhnya bank-bank syari’ah di Indonesia. Tumbuhnya perbankan yang seirama dengan tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari riba berimbas pada makin maraknya sektor moneter di tingkat bawah. Ini terbukti pada berkembangnya BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sampai di desa-desa. Pesatnya pekembangan lembaga keuangan mikro seperti BMT menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Keistimewaan sistem Islam yang direalisasikan sepenuhnya ditingkat lokal kita dapat melihat banyaknya lembaga keuangan mikro syari’ah (LKMS, seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang perkembangannya dapat dikatakan cukup prospektif.
Euforia menjamurnya BMT harus disikapi secara bijak. Di satu sisi, perkembangan tersebut adalah suatu yang menggembirakan, namun di sisi yang lain akuntabilitas keuangan BMT-BMT tersebut patut dipertanyakan. Jika perkembangan dan evaluasi keuangan Bank Syari’ah dan BPR Syari’ah relatif dapat dipertanggungjawabkan karena harus didasarkan pada ketentuan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syari’ah Indonesia (PAPSI) dan selalu dipantau oleh Bank Indonesia, namun tidak demikian halnya dengan BMT, meskipun jenis kegiatannya hampir sama
Pembinaan BMT tidak dilakukan oleh BI, oleh karenanya diluar ketentuan PSAK dan PAPSI, disamping karena dianggap sebagai bentuk Koperasi. Namun demikian, BMT masih belum mendapat perhatian lebih dari Departemen Koperasi terutama dari aspek akuntabilitasnya. Besarnya ‘ghirah’ dan dana masyarakat dalam BMT akan berujung kekecewaan manakala akuntabilitas BMT-BMT tersebut terabaikan
Jumlah lembaga keuangan mikro (LKM) saat ini diduga tak kurang berjumlah mencapai 9000 LKM. Jumlah BMT di seluruh Indonesia diperkirakan sebayak 3.307 unit dengan aset sekitar Rp 1, 5 trilyun. Artinya, hampir separuh dari LKM nasional adalah BMT. Secara individual, BMT sangat bervariasi. Tidak sedikit BMT yang mengelola aset di atas Rp 10 M dengan jumlah nasabah di atas 3.000 ribuan orang, meskipun juga banyak BMT yang asetnya kurang dari Rp 50 juta dan nasabahnya kurang dari 500-an orang
Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan
Prinsip syariah yang berkeadilan dengan mengutamakan nasabah yang benar benar memerlukan perhatian dan prioritas cukup relevan dengan Grameen Bank yang dikelola oleh Muhamad Yunus bisa eksis meskipun membiayai usaha-usaha kecil. Hampir 90 % lebih dana yang dibiayai untuk usaha-usaha kecil bisa kembali meskipun tanpa jaminan. Kenapa Grameen Bank bisa seperti ini karena pembiayaan usaha-usaha kecil menimbulkan barakah karena membantu orang-orang kecil. Jika BMT hanya berorientasi pada usaha-usaha besar maka komitmen BMT sebagai lembaga yang konsen terhadap usaha-usaha kecil patut dipertanyakan.
BMT al-Ikhlas misalnya, BMT yang terdapat di Semarang ini berdiri hanya dengan modal 500.000 rupiah yang merupakan pinjaman, bukan dana milik sendiri. Operasional dimulai di sebuah garasi mobil dengan kondisi seadanya. Strateginya marketingnya adalah penyebaran brosur-brosur yang utamanya ditujukan untuk aktivis-aktivis dakwah yang menyadari haramnya bunga. Strategi ini berhasil dan BMT Al-Ikhlas berhasil mendapatkan 15 juta rupiah pada bulan pertamanya beroperasi. Usahanya pun berkembang hingga berhasil memiliki aset sebesar 350 juta pada tahun 2000.
Begitu pun dengan BMT Bina Dhuafa Beringharjo, Yogyakarta. Hanya dengan modal awal Rp 1 juta, kini setelah sembilan tahun beroperasi, BMT ini telah memiliki aset sebesar Rp 4,89 miliar dan modal Rp 721 juta. BMT yang menurut Jejaring Asset Reform (JAR) Dompet Dhuafa, termasuk kategori sehat, dimana rasio keuangan pada tahun 2003 antara lain: tingkat likuiditas 68,94 persen, CAR 23,86 persen, LDR 68,94 persen, dan ROI 5,81 persen. Jumlah karyawan sebanyak 37 orang dengan melayani 5.240 nasabah kecil dan mikro. Keberhasilan ini tampaknya tidak lepas dari kemampuan rekayasan sosial dan entrepreneurship para karyawannya. Kemampuan rekayasa sosial berguna dalam perintisan dan pengembangan komunitas nasabah pembiayaan, supaya nasabah mampu melakukan kerjasama dan kemitraan untuk saling menguatkan usahanya. Dalam hal ini BMT akan berperan sebagai fasilitator. Sedangkan kemampuan entrepreneurship menjadi penting untuk memberikan rekomentasi atas usulan bisnis nasabah, sehingga pembiayaan BMT betul-betul mampu meningkatkan pendapatan nasabahnya.
Melalui pengelolaan yang profesional, kini BMT Bina Dhuafa Beringharjo telah berhasil melakukan ekspansi ke Pusat Perdagangan Malioboro, Yogyakarta, dengan motto: makin dekat dan akrab dengan nasabah. “Dari 2.000 pedagang di Malioboro, sebanyak 1.700 pedagang yang menjadi nasabah BMT. Potensi inilah yang akan kita kembangkan terus,” ungkap Mursida Rambe, selaku Direktur sekaligus perintis pendirian BMT Bina Dhuafa Beringharjo.
Dan yang paling fenomenal adalah perjuangan Mohammad Yunus dalam upayanya mengentaskan kemiskinan penduduk di Banglades dengan “grameen banknya” (bank orang miskin). Upaya yang dilakukan Yunus membuahkan hasil yang spektakuler. Program kredit mikro Grameen Bank, yang bermula dari pilot proyek kecil-kecilan di di Desa Jobra, saat ini telah berkembang dan menjangkau 7 juta orang miskin di 73.000 desa Bangladesh, 97 persen diantaranya perempuan. Grameen Bank telah memperoleh pengakuan dari pemerintah Bengladesh dan telah dipayungi oleh satu UU tersendiri. Pola yang dilakukan Grameen Bank juga telah diadaptasi oleh 100 negara di 5 benua. Layanan yang diberikan saat ini sangat beragam, meliputi kredit bebas agunan untuk mata pencaharian, perumahan, sekolah, dan usaha mikro untuk keluarga-keluarga miskin. Grameen Bank juga menawarkan program tabungan yang atraktif, dana pensiun, dan asuransi untuk para anggotanya. Bahkan kredit perumahan telah dipakai untuk membangun 640.000 rumah yang dimiliki secara legal bagi kaum perempuan. Secara kumulatif, Grameen Bank telah memberikan kredit sebesar sekitar US$6 miliar dengan tingkat pengembalian 99 persen dan telah mampu mengangkat 58 persen nasabah dari garis kemiskinan. Dengan fakta-fakta ini, Yunus telah membuktikan, bahwa premis ‘kaum miskin tanpa agunan tidak dapat mengembalikan pinjaman’ adalah salah.(Muhamad Yunus, 2005).
Mohammad Yunus (2005) menjelaskan bahwa salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan bukanlah dengan memberikan sedekah Cuma-Cuma, namun partisipasi aktif masyarakat untuk memperbaiki nasibnya sendiri melalui usaha produktif. Menurutnya sedekah hanya mengekalkan kemiskinan dan mengambil inisiatif dari mereka. Sistem kerja sama syari’ah yang mendasari peminjaman dana memposisikan mereka pada posisi menguntungkan. Kerjasama yang dilakukan menggunakan pendekatan aspek kesejahteraan social, sehingga dampak yang dilihat bukan hanya keuntungan sebesar-besarnya,tetapi apakah aktifitas ekonomi yang terjadi menambah kegunaan (maslih) atau tidak (mafasid). Dengan demikian jiwa yang dibangun adalah keberkahahan harta bukan ketidak adilan dan ketidakk bersyukuran. Inilah konsep syari’ah yang sesungguhnya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sistem keuangan syari’ah merupakan peluang bagi masyrakat Indonesia pada umumnya dan umat islam pada khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan yang diharapkan. .
Menghadapi realitas dan tantangan ini,tentu saja pilihan satu satunya adalah kita, harus bangkit untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Masyarakat miskin diberdayakan secara serius dan proporsional, serta dibebaskan dari tekanan rentenir. Kemudian, seluruh penduduk Indonesia ikut memajukan dan mendukung pedagang dan pengusaha muslim. Juga ikut berperan secara aktif membangun lembaga-lembaga keuangan syariah. Karena masyarakat madani yang dicita-citakan selain ditentukan oleh tingkat pendidikan juga sangat tergantung pada kemapanan ekonomi masyarkatnya (Ibrahim, Rustam, 1999).

DAFTAR PUSTAKA

Hasan Ali, Asuransi dalam Persfektif Hukum Islam, Kencana, Jakarta. 2004.
Latifa M Algoud dan Mervyn K Lewis, Perbankan Syariah Prinsip Praktik dan Prospek, Serambi, Jakarta. 2001.
Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin, Margin Kiri, Jakarta. 2007.
Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 tahun 1992

  REFLEKSI STRATEGI PEMBELAJARAN DALAM PERKULIAHAN Sumber gambar : http://larispa.or.id/berita/4-aspek-pembelajaran-dibutuhkan-pendidikan-...